MENU

Fun & Interesting

TNI Asal Papua ini Ngamuk Di Polres, Karena Dituduh Membuat Berita Hoax Ijazah Palsu

KisahSatu 188,710 lượt xem 1 week ago
Video Not Working? Fix It Now

atas ketidaktahuan penulis
mohon dimaafkan karena kata Beta adalah dari Maluku
untuk Papua sa / saya
penulis mohon maaf yang sebesar-besarnya, kepada sodara kami papua,
karena murni ketidaktahuan penulis


Langit Jakarta siang itu mendung, seolah mencerminkan suasana hati Serka Yonas Wonda. Di balik gerbang Markas Koramil Jakarta Selatan, langkah kaki prajurit TNI asal Papua itu terdengar mantap saat ia berjalan pulang menuju rumah dinas yang ia tempati bersama sang istri, Mama Rara. Sudah hampir tiga tahun Yonas ditugaskan di ibu kota, meninggalkan tanah kelahirannya di Lanny Jaya demi menjalankan tugas negara. Meski jauh dari kampung, ia bersyukur memiliki rumah kecil yang nyaman dan seorang istri yang selalu mendampinginya dengan setia.

Kehidupan mereka di Jakarta berjalan sederhana namun damai. Mama Rara membuka usaha kecil menjual kue di lingkungan kompleks dinas, dan Yonas dikenal sebagai prajurit yang disiplin, pendiam, dan tegas. Tapi semua ketenangan itu mulai retak dalam sekejap—bukan oleh suara tembakan atau kerusuhan, melainkan oleh sebuah pesan WhatsApp.

Sore itu, setelah mengganti pakaian dinas dan duduk di teras dengan secangkir kopi, Yonas menerima pesan dari rekan satuan.

"Yon, itu kamu lagi disebut-sebut di grup RT dan WA tetangga. Katanya kamu nyebarin berita soal ijazah palsu Kasat Intel Polres. Bener nggak?"

Dahi Yonas berkerut. Ia segera membuka grup RT. Dan benar saja, di antara pesan-pesan lainnya, tersebar tangkapan layar dari akun anonim yang menuduh dirinya menyebarkan kabar bahwa salah satu pejabat Polres Jakarta Selatan, Kasat Intel, menggunakan ijazah palsu.

Nama Serka Yonas disebut terang-terangan sebagai sumber informasi tersebut. Disertai dengan komentar keji seperti:
"Anggota TNI saja bisa sebar fitnah demi naik jabatan. Malu-maluin!"

Yonas menggenggam ponsel erat-erat. Sorot matanya mengeras, rahangnya mengencang. Ia tahu, ini tuduhan yang tidak main-main. Nama baiknya sebagai prajurit dipertaruhkan, dan yang lebih menyakitkan—ia tahu betul bahwa dirinya tidak pernah menyebarkan isu apapun. Tidak di warung, tidak di media sosial, tidak di mana pun.

Di balik punggungnya, Mama Rara membaca pesan itu ikut terdiam. Matanya mulai berkaca-kaca. Ia tahu betapa beratnya dunia militer, dan kini tekanan sosial pun ikut menimpa.

Esok harinya, bisik-bisik tetangga mulai terdengar. Ibu-ibu di kompleks dinas mulai menjaga jarak. Beberapa menyindir Mama Rara secara halus di warung. Ada yang bahkan menolak membeli kue darinya.

"Hati-hati ngomong depan dia, nanti disebarin kayak suaminya tuh," kata seorang ibu sambil pura-pura tertawa.

Mama Rara pulang dengan mata sembap. Di dalam kamar, ia menangis diam-diam, tak ingin Yonas tahu. Tapi Yonas melihat segalanya. Ia tahu istrinya sedang menanggung beban yang tak pantas.

“Rara,” katanya pelan sambil memeluk istrinya, “Beta bukan orang pengecut. Beta akan cari siapa yang sebarkan semua ini. Nama baik kita harus dibela.”

Namun ketegangan semakin meningkat. Suatu sore, dua kendaraan dinas militer dan satu mobil Provost tiba-tiba berhenti di depan rumah dinas. Beberapa tetangga keluar, pura-pura menyapu sambil memperhatikan.

Seorang Provost keluar, lengkap dengan surat perintah di tangannya.
“Serka Yonas Wonda,” katanya lantang. “Atas permintaan koordinasi dengan pihak Polres Jakarta Selatan, Anda diminta ikut ke markas untuk klarifikasi terkait dugaan penyebaran berita hoaks.”

Yonas berdiri tegak di depan rumah. Ia sempat menoleh ke arah Mama Rara yang berdiri di ambang pintu, wajahnya pucat dan tubuhnya bergetar. Ia mencoba melangkah mendekat, tapi Yonas menggeleng pelan.

“Tenang, Rara. Beta pulang cepat. Beta tidak salah.”

Ia melangkah menuju mobil Provost dengan kepala tegak. Namun di belakangnya, terdengar isak tangis yang tak bisa dibendung. Mama Rara jatuh berlutut di depan rumah, ditatap oleh para tetangga dengan pandangan mencemooh.

Saat mobil membawa Yonas pergi, satu hal pasti terpatri dalam benaknya:
Jika kehormatan keluarga dan nama baik sebagai prajurit diinjak-injak tanpa dasar, maka satu-satunya jalan adalah berdiri… dan melawan.

DISCLAIMER:
Cerita ini adalah karya fiksi. Semua nama, tokoh, tempat, dan kejadian yang ditampilkan sepenuhnya hasil imajinasi penulis. Jika terdapat kesamaan dengan kejadian nyata, itu semata-mata kebetulan dan tidak dimaksudkan untuk menyerang atau mencemarkan nama baik pihak manapun. Cerita ini bertujuan sebagai hiburan sekaligus refleksi atas pentingnya keadilan, integritas, dan keberanian dalam menghadapi penyalahgunaan kekuasaan.

Comment